Anak Muda Korea Selatan Semakin Takut Menikah serta Melahirkan

SEOUL – Anak muda Korea Selatan dilaporkan semakin takut menikah dan juga melahirkan meskipun mencatatkan data sedikit peningkatan di bilangan bulat kelahiran total pada 2024. Di negara tersebut, pernikahan kemudian melahirkan dikaitkan dengan emosi negatif seperti ketakutan, kesedihan, juga bahkan rasa jijik.
Hal ini terungkap pada penelitian yang digunakan dijalankan oleh Korean Peninsula Population Institute for Future (KPPIF), sebuah lembaga penelitian kebijakan kependudukan nirlaba yang digunakan menganalisis sekitar 50.000 unggahan pada media komunitas tempat kerja, Blind terkait pernikahan, kelahiran anak, serta pengasuhan anak mencakup periode Desember 2017 hingga awal November 2024.
Dilansir dari Korea Times, Hari Minggu (23/3/2025), dengan menggunakan pendekatan analisis tingkat kejadian kata, tema, jejaring semantik, dan juga sentimen emosional, lembaga yang disebutkan berhasil menggali pandangan yang mana sangat pribadi dan juga emosional dari kalangan muda terkait isu-isu yang tersebut menjadi fondasi utama di pembentukan keluarga, yakni pernikahan, kelahiran, kemudian tanggung jawab sebagai orang tua.
Dari sisi analisis sentimen, tambahan dari 60 persen unggahan yang berkaitan dengan topik-topik yang disebutkan secara eksplisit mengekspresikan emosi negatif. Di mana pada topik pernikahan saja, emosi yang paling dominan adalah kesedihan sebesar 32,3 persen, disusul oleh rasa takut sebesar 24,6 persen, juga rasa jijik sebesar 10,2 persen, menjadikan total 67,1 persen unggahan mencerminkan sentimen negatif yang dimaksud kuat terhadap institusi pernikahan itu sendiri.
Sementara itu, di unggahan yang dimaksud menyinggung kelahiran anak, rasa jijik muncul sebagai emosi yang digunakan paling dominan dengan persentase 23,8 persen, disertai rasa takut sebesar 21,3 persen dan juga kesedihan sebesar 15,3 persen. Unggahan mengenai pengasuhan anak pun tidaklah sangat berbeda, dengan emosi kesedihan mendominasi sebesar 32 persen, kemudian rasa takut dan juga rasa jijik masing-masing sebesar 23,2 persen juga 13,4 persen.
Sebaliknya, ekspresi yang mana dikategorikan sebagai kebahagiaan pada diskusi-diskusi yang dimaksud sangat minim, hanya saja mencapai 9,3 persen untuk topik pernikahan, 7,4 persen untuk kelahiran, kemudian 13,1 persen untuk pengasuhan anak, yang dimaksud secara keseluruhan menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap pembentukan keluarga di area kalangan generasi muda bukanlah hanya sekali marak, melainkan juga mengakar pada struktur pemikiran sosial mereka.
Dalam analisis kata kunci, ditemukan bahwa faktor ekonomi tetap memperlihatkan menjadi pertimbangan utama di tempat balik ketidaknyamanan ini. Terlihat dari kata uang yang tersebut paling berbagai muncul pada diskusi seputar pernikahan, yaitu sebesar 28,9 persen, dan juga juga muncul pada 13,2 persen unggahan mengenai kelahiran anak.
Kata rumah, yang tersebut mewakili kesulitan perumahan, juga rutin ditemukan, yakni pada 18,7 persen diskusi pengasuhan anak juga 29 persen percakapan tentang cuti orang tua, yang menandakan bahwa ketidakstabilan ekonomi lalu kesulitan tempat tinggal menjadi kegelisahan besar di pengambilan langkah untuk berkeluarga.
Lebih lanjut, dari segi analisis topik, unggahan mengenai pengasuhan anak terbagi pada dua fokus besar, yakni 69,6 persen mengkaji peran orang tua di rumah tangga serta dinamika pengasuhan anak secara langsung, sementara 30,4 persen menyoroti persoalan dukungan kebijakan dari tempat kerja juga tantangan manajemen karier.